Palabuhanratu, 25 Juli 2025 – RSUD Palabuhanratu terus berbenah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang membutuhkan terapi hemodialisa secara rutin.
Di tengah tantangan medis yang dihadapi oleh pasien gagal ginjal, peran perawat tidak hanya sebatas teknis, melainkan juga edukatif dan komunikatif.
Dalam gambar yang diabadikan oleh tim dokumentasi hemodialisa rumah sakit palabuhanratu, terlihat jelas suasana penuh perhatian di salah satu ruang edukasi hemodialisa.
Kang Yogi duduk tenang dan penuh konsentrasi di balik meja edukasi, menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti kepada dua orang pendamping pasien baru. Kertas edukasi dan lembar persetujuan informasi berada di atas meja, menjadi saksi bahwa proses edukasi bukan hanya formalitas, tapi proses pembelajaran yang hidup.
Edukasi ini adalah tahap awal sebelum pasien menjalani prosedur cuci darah pertamanya. Ini adalah langkah penting dalam proses terapi jangka panjang yang akan mereka jalani.
Dalam edukasi ini, pasien diperkenalkan pada konsep dasar hemodialisa, apa itu cuci darah, mengapa mereka membutuhkannya, bagaimana prosedur dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, serta gaya hidup dan kebiasaan yang perlu mereka jaga selama menjadi pasien dialisis.
“Bapak harus tahu, kita bukan hanya cuci darah, tapi juga cuci harapan. Kalau semangatnya bagus, hasil terapi juga biasanya lebih bagus,” ucap Kang Yogi sambil menunjukkan diagram sistem sirkulasi darah yang digunakan dalam mesin dialisis.
Salah satu tantangan terbesar bagi pasien baru hemodialisa adalah rasa takut. Banyak dari mereka datang dengan kecemasan, ketidaktahuan, bahkan penolakan terhadap kenyataan bahwa mereka harus menjalani prosedur cuci darah seumur hidup.
Di sinilah peran penting perawat edukator seperti dibutuhkan,menenangkan, membuka ruang tanya-jawab, dan membangun kepercayaan.
“Awalnya saya takut, Pak. Kata pendamping pasien, cuci darah itu sakit dan bikin lemah. Tapi setelah ngobrol sama perawatnya, saya jadi lebih tenang,” tutur salah satu pendamping pasien baru yang hadir dalam sesi edukasi tersebut.
Kang Yogi menjelaskan bahwa rasa takut adalah hal yang sangat manusiawi, tapi rasa takut itu bisa dikalahkan dengan pengetahuan dan pendampingan yang tepat. Edukasi bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tapi menyentuh sisi emosional pasien.
“Edukasi itu bukan menggurui, tapi merangkul. Bapak dan Ibu yang akan menjalani dialisis harus tahu bahwa kami di sini bukan hanya untuk mengatur mesin, tapi juga untuk menjaga semangat Bapak dan Ibu tetap menyala,” jelasnya.
Dalam setiap sesi edukasi, Kang Yogi dan tim keperawatan hemodialisa RSUD Palabuhanratu menggunakan modul dan media edukasi yang sudah disusun secara sistematis.
Materi edukasi mencakup: Pengertian dan tujuan hemodialisa, indikasi pasien dilakukan hemodialisa, prosedur tindakan, lama waktu dan frekuensi dialisis, risiko dan efek samping yang mungkin terjadi, perawatan fistula atau akses vaskular, pola makan dan pembatasan cairan, pentingnya kepatuhan terhadap jadwal terapi, dukungan psikososial dan pentingnya support keluarga.
Dalam budaya kerja di unit hemodialisa RSUD Palabuhanratu, perawat tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana tindakan medis. Mereka juga adalah pendamping psikologis pasien.
Menurutnya, pasien yang baru pertama kali akan dialisis perlu merasakan kehadiran perawat bukan sebagai “orang rumah sakit,” tapi sebagai sahabat yang bisa diajak berdiskusi, bertanya, bahkan curhat. Inilah yang membuat edukasi terasa lebih menyentuh dan bermakna.
“Kalau pasiennya sudah nyaman, terapi pun jadi ringan. Ada pasien yang awalnya marah-marah terus, tapi setelah kita dampingi, sekarang jadi yang paling rajin kontrol dan ngajak ngobrol pasien baru. Itu kebahagiaan yang tidak bisa dibeli,” tutur Kang Yogi sambil tersenyum.
Komitmen ini tidak berdiri sendiri. RSUD Palabuhanratu, melalui manajemen dan jajaran medisnya, memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan edukasi pasien sebagai bagian dari standar operasional unit hemodialisa. Setiap pasien baru yang akan menjalani terapi wajib mengikuti sesi edukasi, baik secara individu maupun kelompok kecil.
Kegiatan edukasi juga dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya saat awal terapi. Setiap beberapa bulan, dilakukan re-edukasi untuk mengingatkan dan memperbarui pemahaman pasien terhadap kondisi dan perawatan yang sedang dijalani.
Salah satu tujuan jangka panjang dari edukasi pasien adalah mencetak pasien-pasien yang mandiri, tangguh, dan tidak bergantung secara emosional. Mereka diharapkan dapat menjalani kehidupan yang produktif meski harus rutin menjalani hemodialisa. Hal ini bisa terwujud jika sejak awal pasien dibekali dengan pengetahuan yang cukup dan motivasi yang kuat.
“Jangan cuma datang buat cuci darah, tapi datang juga buat semangat hidup. Di sini kita belajar sama-sama, saling jaga, saling dukung,” kata Kang Yogi menutup sesi edukasinya.
